Apa Itu Pailit?

Pengertian Pailit sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Debitur yang dapat dinyatakan pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat 1). Permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan oleh debitur sendiri, salah satu dari krediturnya, atau kejaksaan untuk kepentingan umum (Pasal 2 ayat 2).

Bagaimana Status Pekerja Jika Perusahaan Terjadi Pailit?

Pekerja yang bekerja pada debitur pailit dapat memutuskan hubungan kerja dan sebaliknya kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan peraturan-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diakhiri dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya (Pasal 95 ayat 1 UU KPKPU).

Hal ini juga telah ditegaskan dalam Pasal 81 angka 45 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 154A ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang menerangkan bahwa salah satu alasan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah karena perusahaan pailit.

Bagaimana Hak Pekerja?

Status upah dan hak-hak karyawan lainnya yang belum dibayarkan dalam hal perusahaan dinyatakan pailit merupakan utang yang didahulukan pembayarannya, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 81 angka 36 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 95 UU Ketenagakerjaan dengan ketentuan sebagai berikut.

  1. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
  2. Upah pekerja/buruh didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
  3. Hak lainnya dari pekerja/buruh didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Namun hak atas Pekerja berdasarkan Pasal 95 dalam Pasal 81 angka 36 UU Cipta Kerja tersebut diuji dalam Putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023. Dalam permohonannya, pemohon mendasarkan bahwa Pasal 95 ayat (3) tidak konsisten dengan Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 81 angka 36 UU Cipta Kerja, dimana pada ayat (2) ditentukan bahwa upah pekerja harus didahulukan daripada semua kreditur, termasuk kreditur separatis (pemegang jaminan kebendaan).

Namun pada ayat (3) mengecualikan ketentuan tersebut, sehingga mereduksi prioritas pekerja untuk menjadi pihak yang didahulukan mendapatkan pembayaran hak lainnya yang belum diterima akibat perusahaan dinyatakan pailit.

Amar Putusan

Mahkamah memutuskan bahwa Norma Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 da tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”

Bagaimana pendapat Sobat IPRI Law Firm?

Share Article