Salah satu perusahaan ekspedisi di Indonesia diketahui melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal, hal itu diungkapkan oleh salah satu akun di laman Twitter. Akun tersebut, menyebutkan bahwa di Jabodetabek ada sekitar 365 kurir yang dipecat. Namun, yang jadi perhatian disini adalah para kurir yang dipecat diminta untuk mengisi surat pengunduran diri bukan atas kehendak mereka, melainkan atas kehendak manajemen tempat mereka bekerja. Prosedur yang dilakukan perusahaan tersebut dianggap tidak adil karena memaksa Pekerjanya menandatangani surat pengunduran diri, seolah-olah Pekerjanyalah yang mengajukan pengunduran diri tersebut, sehingga hak-hak yang akan diterima Pekerja bukan atas dasar adanya pemutusan hubungan kerja dengan alasan tertentu oleh perusahaan, melainkan dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri.

Pada isu kali ini membahas terkait Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Pemberi Kerja yang meminta Pekerja untuk mengisi Surat Pengunduran Diri bukan atas keinginan Pekerja, melainkan atas dasar kehendak Pemberi Kerja. Hal ini tentu berbeda dengan pengajuan pengunduran diri atas keinginan sendiri, maka hak-hak yang akan diterima tentu sesuai dengan apa yang menjadi alasan putusnya hubungan kerja, yaitu keinginan sendiri, sehingga tidak akan menjadi permasalahan, karena pengunduran diri tersebut merupakan keinginan pekerja itu sendiri. Lalu apakah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan tersebut sudah tepat sesuai dengan regulasi yang berlaku? Apakah Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan mengundurkan diri atas kehendak Perusahaan/Pemberi Kerja dan bukan atas keinginan Pekerja dapat dikatakan sah?

Dasar hukum PHK yaitu Bab XII Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 154A ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Tata cara PHK dan alasan-alasan PHK dijelaskan secara rinci pada pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Pada Pasal 154 huruf b, UU Ketenagakerjaan menyatakan “pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali”. Pada peraturan pelaksananya yaitu Pasal 36, PP 35/2021, dijelaskan terkait berbagai alasan yang mendasari terjadinya PHK, dari alasan-alasan itulah nantinya dapat ditentukan penghitungan hak-hak akibat PHK yang bisa didapatkan oleh Pekerja. Lebih lanjut, Pasal 36 huruf I, menyatakan:

“Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:

1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.”

Dari pernyataan Pasal 36 huruf I diatas, bahwa Pengunduran Diri dilakukan atas kemauan sendiri, sehingga cara pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan ‘mengundurkan diri’ berdasarkan kehendak Pemberi Kerja bukan dilakukan karena kemauan Pekerja dapat dikatakan sebagai pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh Perusahaan/Pemberi Kerja. Sehingga tanpa memenuhi persyaratan pada Pasal 36 huruf I, maka pengunduran diri tersebut menjadi tidak sah. Berikut ini merupakan hal-hal yang harus diketahui terkait PHK yang dikategorikan melanggar regulasi ketenagakerjaan yang berlaku:

A. Kesalahan prosedur dalam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

PHK yang dapat dikatakan melanggar ketentuan ketenagakerjaan, apabila dilakukan tanpa prosedur yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, dan ketentuan-ketentuan terkait lainnya yang secara resmi berlaku di Indonesia. PHK yang dilakukan diluar prosedur, antara lain

1. Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan tanpa adanya surat peringatan, menurut Pasal 151, UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa ‘Pengusaha, denga segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja’ sehingga prosedur yang dilakukan harus diawali dengan pemberian Surat Peringatan.

2. Surat Peringatan melewati jangka waktu, PHK dilakukan melewati jangka waktu SP paling lama 6 (enam) bulan, sebagaimana dalam ketentuan ketenagakerjaan Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja bahwa “surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”

3. PHK yang dilakukan tanpa adanya pemberitahuan, Pasal 37 ayat (3) PP 35/2021 menyatakan “Pemberitahuan Pemutusan Hubungan Kerja dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja Serikat Buruh paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebelum Pemutusan Hubungan Kerja.” 

4. Jika ada alasan-alasan PHK diluar alasan-alasan yang diatur dalam regulasi ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja, Perjanjian Bersama, ataupun Peraturan Perusahaan, sehingga dapat dikategorikan alasan PHK tidak menurut undang-undang.

5. PHK yang dilakukan bukan karena kesalahan Pekerja.

6. PHK yang dilakukan secara sepihak sebelum berakhirnya masa kerja pada Perjanjian Kerja.

B. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa adanya kompensasi.

C. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa diberikan pesangon.

D. Pemberi Kerja tidak memberikan Hak-hak sesuai ketentuan undang-undang.

E. Ketidakjelasan status si Pekerja, dalam hal ini status pekerja dapat dikatakan ‘digantung’ oleh Perusahaan/Pemberi Kerja.

Berdasarkan isu yang telah dibahas, dapat kita diketahui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dikategorikan melanggar regulasi ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Sehingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan pengunduran diri bukan dari kemauan Pekerja melainkan atas kehendak Perusahaan/Pemberi Kerja menjadi tidak sah.  Apabila pada kenyataannya ada perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ditandai dengan adanya surat pengunduran diri yang seolah-olah dilakukan atas kemauan pekerjanya, maka Pekerja yang merasa keberatan dan merasa adanya ketidakadilan dapat melakukan upaya hukum, selama bisa membuktikan adanya kecacatan kehendak dari pengunduran diri tersebut. Upaya hukum diambil dengan tujuan memperjuangkan hak-hak Pekerja dan memperoleh kepastian hukum.

Share Article